Evaluasi Kebijakan Moneter Bank of Japan: Sebuah Analisis Mendalam
Evaluasi Kebijakan Moneter Bank of Japan: Sebuah Analisis Mendalam
Kebijakan Stimulus Kuroda dan Dampaknya yang Tak Terduga
Bank of Japan (BOJ) baru-baru ini merilis sebuah tinjauan kritis terhadap kebijakan moneter mantan Gubernur Haruhiko Kuroda. Tinjauan ini menandai pergeseran signifikan dari pendekatan radikal yang dianut selama satu dekade kepemimpinan Kuroda. Kesimpulan utamanya? Stimulus moneter yang masif, meskipun bertujuan mengubah psikologi konsumen, ternyata kurang efektif daripada yang direncanakan. Lebih lanjut, tinjauan ini memperingatkan bahwa efek negatif dari kebijakan tersebut, seperti tekanan pada pasar obligasi akibat quantitative easing (QE) skala besar, mungkin akan berlangsung lebih lama dan berdampak lebih besar daripada perkiraan sebelumnya.
Temuan ini semakin memperkuat tekad BOJ untuk menormalisasi kebijakan moneter secara bertahap dan melepaskan diri dari sisa-sisa kebijakan pelonggaran yang tidak konvensional tersebut. Gubernur BOJ saat ini, Kazuo Ueda, mengakui adanya ketidakpastian yang lebih besar dari yang diperkirakan mengenai dampak pelonggaran moneter yang masif terhadap ekspektasi publik. Ia juga menekankan adanya berbagai efek samping, beberapa di antaranya mungkin belum muncul.
Pengalaman Deflasi Jepang dan Kebijakan Tak Konvensional
Pengalaman Jepang selama 25 tahun menghadapi deflasi dan stagnasi ekonomi memaksa BOJ untuk menjadi pelopor kebijakan tidak konvensional seperti suku bunga nol dan QE. Bank-bank sentral global lainnya kemudian juga menerapkan langkah-langkah radikal serupa selama masa sulit seperti krisis keuangan global dan pandemi COVID-19. Namun, sebagian besar bank sentral tersebut mampu membatalkan kebijakan tersebut dengan relatif cepat setelah ekonomi pulih.
Ueda, yang menjabat sejak April 2023, memulai tinjauan ini untuk menganalisis kelebihan dan kekurangan berbagai instrumen tidak konvensional yang digunakan selama 25 tahun BOJ berjuang melawan deflasi. Kebijakan yang paling kontroversial adalah program pembelian aset skala besar yang diluncurkan pada tahun 2013 di bawah kepemimpinan Kuroda, yang kemudian digabungkan dengan suku bunga negatif dan pengendalian imbal hasil obligasi. Di bawah kepemimpinan Ueda, BOJ keluar dari program tersebut pada Maret 2023 dan menaikkan suku bunga jangka pendek menjadi 0,25% pada Juli 2023.
Upaya Mengubah Persepsi Publik: Sukses atau Gagal?
Tinjauan ini merupakan upaya pertama BOJ untuk secara kritis meninjau elemen paling khas dari eksperimen Kuroda: upaya langsung memengaruhi persepsi publik melalui kebijakan moneter. Idealnya, dengan menggabungkan komitmen untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk menopang inflasi dengan pelonggaran moneter yang berani, BOJ dapat "mengejutkan" publik dari pola pikir deflasi dan mengubah persepsi publik tentang pergerakan harga di masa depan.
Ini merupakan perubahan sikap dari pendahulu Kuroda yang berpendapat bahwa kebijakan moneter memiliki sedikit pengaruh terhadap persepsi publik, dan hanya melalui upaya pemerintah dan sektor swasta Jepang dapat keluar dari deflasi. Sejak saat itu, akademisi dan mantan pembuat kebijakan di Jepang terpecah antara mereka yang memuji pendekatan Kuroda dan mereka yang tetap waspada terhadap biaya besar dari eksperimennya. Kuroda sendiri, dalam konferensi pers perpisahannya pada April 2023, menggambarkan pelonggaran moneter tidak konvensional pada masa jabatannya sebagai efektif dan "tepat," tetapi menyatakan "menyesalkan" bahwa Jepang belum mencapai target inflasi BOJ sebesar 2% secara berkelanjutan.
Analisis Terhadap Efektivitas Kebijakan dan Kontroversi yang Muncul
Untuk menyajikan perspektif yang seimbang, tinjauan BOJ melakukan penelitian akademis untuk mengidentifikasi kebijakan Kuroda mana yang berhasil dan mana yang tidak. Bank menggunakan model ekonomi untuk menganalisis bagaimana guncangan yang disebabkan oleh stimulus Kuroda memengaruhi ekspektasi inflasi. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun stimulus tersebut memiliki beberapa pengaruh dalam menggeser persepsi publik tentang pergerakan harga di masa depan, hal itu tidak cukup untuk mempercepat inflasi hingga mencapai target 2% BOJ.
Deflasi yang berkepanjangan di Jepang telah menciptakan keyakinan yang mendalam di kalangan perusahaan dan rumah tangga bahwa upah dan harga tidak akan meningkat banyak di masa mendatang, yang sangat sulit untuk diubah. Penelitian lain menunjukkan bahwa meskipun stimulus skala besar BOJ meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,3% hingga 1,8% rata-rata, hal itu hanya meningkatkan inflasi sebesar 0,5 hingga 0,7 poin persentase.
BOJ berharap tinjauan ini dapat membantu mengakhiri perdebatan sengit antara pendukung dan penentang kebijakan Kuroda. Namun, beberapa akademisi yang memberikan komentar terhadap tinjauan tersebut tidak yakin bahwa BOJ telah memberikan cukup perhatian terhadap jebakan kebijakan masa lalu. Hiroshi Yoshikawa, profesor emeritus di Universitas Tokyo, mengkritik tinjauan tersebut karena menyalahkan pola pikir deflasi Jepang yang sulit diubah, daripada mempertanyakan teori di balik stimulus Kuroda, dalam menjelaskan mengapa inflasi gagal mencapai 2%. Yoshikawa berpendapat bahwa kerangka teoritis kebijakan tersebut pada dasarnya salah. Perdebatan ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan moneter yang efektif, terutama dalam menghadapi tantangan ekonomi yang unik seperti yang dihadapi Jepang.