Kasus Hukum Terorisme Palestina di Mahkamah Agung AS: Sebuah Pergulatan Yurisdiksi dan Keadilan
Kasus Hukum Terorisme Palestina di Mahkamah Agung AS: Sebuah Pergulatan Yurisdiksi dan Keadilan
Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) telah menyetujui untuk memutuskan legalitas undang-undang federal tahun 2019 yang bertujuan untuk memfasilitasi tuntutan hukum terhadap otoritas Palestina oleh warga Amerika yang tewas atau terluka dalam serangan di Israel dan tempat lain. Keputusan ini diambil setelah Mahkamah Agung menerima banding dari pemerintah Presiden Joe Biden dan sekelompok korban Amerika dan keluarga mereka atas putusan pengadilan rendah yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut melanggar hak-hak Otoritas Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) atas proses hukum yang adil berdasarkan Konstitusi AS.
Undang-Undang "Promoting Security and Justice for Victims of Terrorism Act" dan Kontroversinya
Undang-undang yang dimaksud, "Promoting Security and Justice for Victims of Terrorism Act," menjadi pusat perdebatan hukum yang kompleks. Undang-undang ini secara fundamental mengubah landasan yurisdiksi pengadilan AS dalam kasus-kasus yang melibatkan tindakan kekerasan yang terjadi di luar negeri. Intinya, undang-undang ini menetapkan bahwa PLO dan Otoritas Palestina secara otomatis "memberikan persetujuan" atas yurisdiksi pengadilan AS jika mereka melakukan aktivitas di Amerika Serikat atau memberikan pembayaran kepada orang-orang yang menyerang warga Amerika.
Penggunaan frasa "persetujuan otomatis" inilah yang menjadi inti perdebatan. Para penentang berargumen bahwa hal ini merupakan pelanggaran hak proses hukum yang adil, karena secara sewenang-wenang memaksakan yurisdiksi tanpa adanya proses hukum yang semestinya. Mereka berpendapat bahwa Kongres tidak dapat sembarangan mendefinisikan "persetujuan" atas yurisdiksi pengadilan.
Latar Belakang Kasus dan Putusan Pengadilan Sebelumnya
Kasus ini bermula dari tuntutan hukum yang diajukan oleh keluarga korban serangan di Yerusalem antara tahun 2002 dan 2004. Pada tahun 2015, mereka memenangkan putusan senilai $655 juta dalam kasus perdata yang menuduh PLO dan Otoritas Palestina bertanggung jawab atas serangkaian penembakan dan pemboman. Para penggugat mengklaim bahwa pejabat dan karyawan kedua organisasi tersebut merencanakan, mengarahkan, dan berpartisipasi dalam serangan-serangan tersebut.
Namun, putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Sirkuit ke-2 AS di Manhattan pada tahun 2016 dengan alasan bahwa pengadilan Amerika Serikat tidak memiliki yurisdiksi atas tergugat Palestina. Hal inilah yang mendorong Kongres untuk mengeluarkan "Promoting Security and Justice for Victims of Terrorism Act". Tuntutan hukum baru kemudian diajukan, termasuk oleh keluarga Ari Fuld, seorang pemukim Yahudi di Tepi Barat yang tewas ditikam oleh seorang Palestina pada tahun 2018.
Pada tahun 2022, seorang hakim federal di New York memutuskan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional karena melanggar hak proses hukum yang adil. Hakim Jesse Furman berpendapat bahwa Kongres tidak dapat sembarangan menyatakan sesuatu sebagai "persetujuan". Putusan ini kemudian diajukan banding ke Pengadilan Sirkuit ke-2, tetapi ditolak, sehingga mendorong banding ke Mahkamah Agung.
Implikasi Putusan Mahkamah Agung dan Pertimbangan Masa Depan
Keputusan Mahkamah Agung AS dalam kasus ini akan memiliki implikasi yang luas terhadap yurisdiksi pengadilan AS dalam kasus-kasus terorisme internasional, khususnya yang melibatkan negara-negara dan organisasi yang tidak memiliki hubungan diplomatik yang kuat dengan AS. Putusan tersebut berpotensi memengaruhi cara pengadilan AS menangani tuntutan hukum terhadap entitas asing atas tindakan yang terjadi di luar negeri.
Perdebatan ini juga muncul dalam konteks konflik Israel-Palestina yang sedang berlangsung. Perang Gaza terbaru telah meningkatkan ketegangan dan menyoroti kompleksitas hubungan antara AS, Israel, dan Palestina. Keputusan Mahkamah Agung kemungkinan akan berpengaruh signifikan terhadap hubungan antar negara, khususnya dalam hal penegakan hukum dan keadilan bagi korban terorisme.
Para penggugat berharap Mahkamah Agung akan membatalkan putusan pengadilan rendah dan memulihkan putusan awal senilai $655 juta. Mereka berpendapat bahwa undang-undang tersebut merupakan langkah penting untuk memastikan keadilan bagi para korban terorisme. Di sisi lain, para tergugat dan pihak-pihak yang menentang undang-undang ini berargumen bahwa undang-undang tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip hukum internasional. Pengambilan keputusan oleh Mahkamah Agung yang diharapkan pada akhir Juni mendatang akan menjadi penentu arah hukum internasional dalam konteks konflik dan terorisme.