Kehidupan Seni dan Budaya di Damaskus Pasca Jatuhnya Assad

Kehidupan Seni dan Budaya di Damaskus Pasca Jatuhnya Assad

Kekhawatiran Awal dan Respon Pemerintah Sementara

Pada suatu malam musim dingin di Damaskus, ratusan orang memadati halaman di Kota Tua, menari dan bernyanyi dalam sebuah konser musik yang meriah. Konser ini digelar dengan persetujuan pemerintah sementara Suriah yang dipimpin oleh kelompok Islamis. Penyanyi Mahmoud al-Haddad, mengaku sempat khawatir akan keselamatan konser tersebut mengingat kekuatan kelompok pemberontak Islam Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang tengah bergerak menuju Damaskus pada bulan Desember. Kejatuhan Presiden Bashar al-Assad mengakhiri lebih dari lima dekade pemerintahan otoriter keluarganya dan Partai Baath sekuler, membuka jalan bagi HTS, yang berasal dari kelompok afiliasi al-Qaeda sebelum memutuskan hubungan pada tahun 2016. Ketakutan akan pembatasan seni dan budaya bukanlah tanpa alasan, mengingat pengalaman di tempat lain yang pernah dikuasai kelompok Islamis.

Perbandingan dengan Pengalaman di Negara Lain

Berbeda dengan pengalaman di Afghanistan di mana Taliban menghancurkan patung Buddha Bamiyan dan memusnahkan ribuan alat musik, situasi di Damaskus ternyata berbeda. Meskipun ada kekhawatiran awal, kehidupan budaya di Damaskus, untuk saat ini, kembali berdenyut. Haddad, sebelum melanjutkan konsernya di restoran Beit Jabri pada Januari, terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah sementara. Jawaban yang diterima mengejutkannya: "Anda dapat mengadakan konser, dan jika Anda menginginkan perlindungan, kami akan mengirimkannya." Anas Zeidan, seorang pejabat di pemerintahan sementara yang bertanggung jawab atas museum dan barang antik, menyatakan bahwa pemerintah menyambut "semua jenis dan bentuk seni" dan mendorong pelestarian warisan budaya. Sebuah pameran karya seniman terkemuka bahkan dibuka kembali di Museum Nasional, termasuk lukisan besar dengan gambar tubuh telanjang. Di Institut Seni Drama Tinggi, mahasiswa tari kontemporer telah kembali berlatih. Orkestra Simfoni Nasional Suriah juga mengadakan pertunjukan pertamanya sejak jatuhnya Assad.

Ideologi HTS dan Kebijakan Budaya

Meskipun demikian, Islamisme pemerintah baru Suriah tampak dalam beberapa hal. Rekrutmen kepolisian baru misalnya, dilatih dalam hukum Islam, sementara revisi buku teks sekolah menekankan identitas Muslim. Kejadian intoleransi, seperti pembakaran pohon Natal di Hama, meskipun dikecam pemerintah, tetap menimbulkan kekhawatiran bagi warga Suriah yang berpikiran sekuler dan komunitas minoritas. Usaha untuk mendorong norma-norma konservatif, seperti pemasangan poster yang mendorong perempuan untuk berhijab, juga memicu keresahan. Namun, Presiden sementara Ahmed al-Sharaa menekankan pesan inklusifitas, berupaya mendapatkan pengakuan dari pemerintah Barat dan Arab. Andrew Hammond, seorang dosen senior Studi Islam di Australian National University, menjelaskan bahwa pendekatan ini menunjukkan pemerintah siap melawan kelompok garis keras yang menganggap seni sebagai pemborosan waktu dan penyebab perilaku tidak sehat. Kelompok garis keras ini seringkali menolak penggambaran bentuk manusia dan musik, yang dianggap sebagai saingan dari pembacaan Al-Quran.

Pergeseran Ideologi dan Harapan Masa Depan

Kebijakan kelompok yang berkuasa juga mencerminkan pergeseran ideologis dari akarnya dalam jihad transnasional menuju bentuk Islam politik yang lebih moderat berdasarkan nasionalisme Suriah, sejalan dengan pendekatan kelompok Islamis di negara-negara Arab lainnya seperti Mesir, Yordania, dan Tunisia, serta Turki. Hammond memperkirakan pemerintah baru tidak akan menerapkan kebijakan radikal yang dapat mengasingkan negara-negara Barat dan regional, serta banyak warga Suriah sendiri. Pengalaman di Idlib di bawah HTS, di mana musik keras di mobil mendapat teguran, merokok pipa air dilarang, dan kepala manekin di jendela toko sering dilepas atau ditutup, mencerminkan sikap keras terhadap penggambaran bentuk manusia. Namun, HTS telah melonggarkan upaya penegakan perilaku konservatif di Idlib beberapa tahun lalu, menarik polisi moral dari jalanan. Hal ini dipandang sebagai bagian dari pergeseran bertahap mereka menuju arus utama. Seniman Suriah, Sara Shamma, mengaku awalnya khawatir kebebasan kreatif akan dibatasi, khususnya terkait patung atau karya figuratif. Namun, kekhawatiran itu sirna setelah pamerannya, "Sara Shamma: Echoes of 12 years", tetap dibuka di Museum Nasional setelah penggulingan Assad. Aaron Zelin, seorang ahli HTS di Washington Institute for Near East policy, berpendapat bahwa kelompok tersebut "mencoba menghindari menimbulkan masalah dengan siapa pun sementara mereka masih mengkonsolidasikan kekuasaan".

Reaksi Seniman dan Pelaku Seni

Para seniman dan pelaku seni lainnya juga mengungkapkan kekhawatiran dan harapan mereka. Mustafa Ali, seorang pematung terkemuka, mengatakan bahwa kekhawatiran awal para seniman tentang pemerintah baru telah mereda. Di Institut Seni Drama Tinggi, para mahasiswa tari awalnya takut akan pelarangan tari, namun mereka merasa lega setelah bertemu perwakilan HTS. Ghazal al-Badr, seorang mahasiswa tari, menyatakan bahwa mereka kembali ke kelas untuk menunjukkan pentingnya seni mereka kepada pemerintah baru dan tekad mereka untuk terus berkarya. Sikap pemerintah sementara yang cenderung inklusif terhadap seni dan budaya, setidaknya untuk saat ini, menjadi secercah harapan bagi para seniman dan pelaku seni di Damaskus. Namun, pertanyaan tentang penerapan syariat Islam, kewajiban hijab bagi perempuan, dan perizinan alkohol masih belum terjawab secara pasti, dan menjadi hal yang perlu dipantau perkembangannya di masa mendatang.