Kejatuhan Shigeru Ishiba: Akhir dari Janji "Jepang yang Tersenyum"
Kejatuhan Shigeru Ishiba: Akhir dari Janji "Jepang yang Tersenyum"
Shigeru Ishiba, yang pernah berjanji akan menghidupkan kembali Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang yang terjerat skandal, akhirnya mundur dari jabatan Perdana Menteri kurang dari setahun setelah terpilih. Kegagalan dalam tiga pemilihan umum berturut-turut telah mengguncang kekuasaan partai yang berkuasa ini.
Naiknya dan Jatuhnya Seorang "Serigala Tunggal"
Ishiba, yang digambarkan sebagai sosok "serigala tunggal", memenangkan pemilihan kepemimpinan LDP pada upaya kelimanya di akhir September 2024. Kemenangan ini menempatkannya di pucuk pimpinan partai yang telah mendominasi politik pasca-perang Jepang, namun saat itu sedang berada di titik terendah sejak berdirinya pada tahun 1955. Janjinya untuk membuat Jepang "tersenyum lagi" terdengar optimistis, namun realitanya jauh berbeda.
Masa jabatannya yang singkat sebagai Perdana Menteri ditandai dengan negosiasi tarif yang menegangkan dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang detailnya baru diselesaikan beberapa hari sebelum pengunduran dirinya. Di dalam negeri, dukungan terhadap pemerintahannya terus merosot seiring kesulitan pemerintah dalam mengatasi kenaikan harga konsumen yang memicu ketidakpuasan masyarakat atas pendapatan yang tertekan dan pertumbuhan ekonomi yang lesu.
Tiga Kekalahan Berturut-turut dan Kemarahan Publik
Puncak kekecewaan publik terjadi pada pemilihan umum Dewan Tinggi pada bulan Juli. Pemilih memberikan teguran keras kepada Ishiba (68 tahun) dengan mendukung kelompok oposisi yang menjanjikan pengurangan pajak dan kontrol yang lebih ketat terhadap imigrasi yang dianggap menekan upah, termasuk partai sayap kanan Sanseito. LDP dan mitra koalisinya, Komeito, kehilangan mayoritas di parlemen. Ini merupakan kekalahan pemilihan ketiga berturut-turut bagi Ishiba, setelah terpukul dalam pemilihan lokal Tokyo pada bulan Juni dan kekalahan di Dewan Rendah pada bulan Oktober, di mana partainya terjerat skandal sumbangan politik yang memaksa pendahulunya untuk mengundurkan diri.
Sebelum terpilih sebagai pemimpin partai, Ishiba, mantan Menteri Pertahanan yang memasuki parlemen pada tahun 1986 setelah bekerja sebagai bankir di puncak ekonomi gelembung Jepang, dipandang sebagai figur yang populer di kalangan masyarakat dan dapat menghidupkan kembali citra LDP. Namun di dalam partai, sebagian orang melihatnya sebagai seorang yang kontrarian dan sering berselisih dengan pemimpin sebelumnya. Meskipun langkah pertamanya sebagai pemimpin partai adalah meminta maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkannya, anggota parlemen LDP tidak mau memaafkan kekalahan pemilihan yang terjadi di bawah kepemimpinannya.
Jalan Terbuka untuk Para Penantang
Dengan LDP dan Komeito kini bergantung pada dukungan oposisi untuk tetap berkuasa, kepergian Ishiba membuka jalan bagi para pesaingnya, seperti Sanae Takaichi, politisi sayap kanan yang dikenal hawkish, dan Shinjiro Koizumi, putra mantan Perdana Menteri Junichiro Koizumi yang memiliki daya tarik visual, untuk kembali mencalonkan diri sebagai pemimpin LDP.
Ishiba, yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertanian, kemungkinan akan kembali ke bangku belakang parlemen. Sikapnya yang kaku, yang pernah membuatnya mendapat cemoohan sebagai Perdana Menteri, justru pernah membantunya menonjol dalam politik Jepang yang kaku. Di bangku belakang, ia dikenal sebagai suara yang berbeda pendapat dalam berbagai isu penting, mulai dari energi nuklir dan pakta keamanan AS-Jepang hingga angka kelahiran yang menurun dan penggunaan nama keluarga yang berbeda untuk pasangan menikah. Namun, sebagai pemimpin partai, ia sebagian besar menyimpan pandangannya tersebut.
Visi yang Tak Terwujud
Sebagai seorang yang dianggap sebagai tokoh penting LDP dan ahli kebijakan keamanan nasional, Ishiba menganjurkan Jepang yang lebih asertif dan kurang bergantung pada AS untuk pertahanan negaranya. Ia juga mempromosikan gagasan agar Jepang bergabung dengan aliansi seperti NATO di Asia. Pengunduran dirinya dari politik garis depan mungkin akan memberinya lebih banyak waktu untuk mengejar minatnya yang lain, seperti membuat model plastik kapal dan pesawat yang dipajang di kantornya dan memimpin perkumpulan pencinta ramen di parlemen. Namun, impiannya untuk membawa perubahan signifikan di Jepang, tampaknya harus ditunda, bahkan mungkin tak akan pernah terwujud. Kegagalannya menjadi pembelajaran berharga bagi partai dan politisi Jepang lainnya, bahwa popularitas semata tidak cukup untuk memimpin sebuah negara yang kompleks seperti Jepang.