Kekalahan Partai Koalisi Berkuasa Jepang dan Implikasinya
Kekalahan Partai Koalisi Berkuasa Jepang dan Implikasinya
Kekalahan telak koalisi partai berkuasa di Jepang pada pemilihan parlemen Senat yang berlangsung Minggu lalu telah mengguncang pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba. Lembaga penyiaran publik NHK melaporkan bahwa koalisi tersebut dipastikan kehilangan kendali atas majelis tinggi parlemen. Hasil ini semakin melemahkan posisi Ishiba, terlebih di tengah tenggat waktu negosiasi tarif perdagangan dengan Amerika Serikat yang semakin mendekat.
Meskipun hasil pemilihan ini tidak secara langsung menentukan jatuhnya pemerintahan Ishiba, tekanan politik yang dihadapinya semakin meningkat. Kekalahan ini menyusul hasil terburuk Partai Demokrat Liberal (LDP) dalam 15 tahun terakhir pada pemilihan parlemen rendah di bulan Oktober. Kondisi ini membuat pemerintahan Ishiba rentan terhadap mosi tidak percaya dan seruan pergantian kepemimpinan dari dalam partainya sendiri.
Menanggapi hasil yang mengecewakan ini, Ishiba menyatakan penerimaan atas "hasil yang keras" tersebut. Dalam pernyataan kepada NHK, ia menekankan pentingnya fokus pada negosiasi tarif dengan Amerika Serikat dan menghindari tindakan yang dapat merugikan negosiasi tersebut. Ia menegaskan komitmennya untuk memprioritaskan kepentingan nasional. Ketika ditanya tentang rencananya untuk tetap menjabat sebagai Perdana Menteri dan pemimpin partai, Ishiba menjawab "benar".
Jepang, sebagai ekonomi terbesar keempat dunia, menghadapi tenggat waktu 1 Agustus untuk mencapai kesepakatan perdagangan dengan Amerika Serikat. Kegagalan mencapai kesepakatan akan berujung pada penerapan tarif hukuman di pasar ekspor terbesar Jepang. Hasil penghitungan suara menunjukkan Partai Demokrat Konstitusional sebagai partai oposisi utama berada di posisi kedua.
Munculnya Partai Sanseito dan Narasi "Jepang Pertama"
Partai Sanseito, partai sayap kanan yang baru beberapa tahun lalu muncul di YouTube, menunjukkan kehadirannya di kancah politik utama dengan kampanye "Jepang Pertama" dan peringatan tentang "invasi diam-diam" warga asing. Partai ini diproyeksikan menambah setidaknya 13 kursi parlemen.
Isu Ekonomi dan Ketidakpuasan Publik
Partai-partai oposisi yang mengkampanyekan pengurangan pajak dan peningkatan kesejahteraan sosial berhasil menarik simpati pemilih. Kenaikan harga konsumen, terutama harga beras, telah memicu frustrasi publik terhadap respons pemerintah. David Boling, direktur di perusahaan konsultan Eurasia Group, mencatat bahwa LDP berada di pihak yang salah dalam isu kunci yang menjadi perhatian pemilih. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga menginginkan pengurangan pajak konsumsi untuk mengatasi inflasi, sebuah kebijakan yang ditentang oleh LDP. Partai-partai oposisi berhasil memanfaatkan isu ini dan menggalang dukungan publik.
LDP selama ini mendorong kebijakan fiskal ketat, dengan mempertimbangkan kondisi pasar obligasi pemerintah yang bergejolak. Kekhawatiran investor terhadap kemampuan Jepang untuk merefinansi tumpukan utang terbesar di dunia semakin meningkat. Analis memprediksi bahwa setiap konsesi yang harus dilakukan LDP dengan partai oposisi untuk meloloskan kebijakan hanya akan semakin meningkatkan kekhawatiran tersebut. Yu Uchiyama, profesor ilmu politik di Universitas Tokyo, mengatakan bahwa pemerintah akan dipaksa untuk berkompromi guna mendapatkan dukungan dari oposisi, yang pada akhirnya akan meningkatkan pengeluaran anggaran. Ia juga memperkirakan evaluasi ekonomi Jepang oleh investor luar negeri akan semakin negatif.
Sanseito, yang awalnya muncul selama pandemi COVID-19 dengan menyebarkan teori konspirasi tentang vaksinasi dan kelompok elit global, juga termasuk di antara partai-partai yang menganjurkan perluasan fiskal. Namun, pernyataan kerasnya tentang imigrasi telah menarik perhatian dan membawa retorika politik yang dulunya berada di pinggiran ke arus utama. Masih harus dilihat apakah partai ini dapat mengikuti jejak partai-partai sayap kanan lainnya seperti AfD di Jerman dan Reform UK.
Sentimen Anti-Imigrasi dan Realita Demografi Jepang
Pendapat Yu Nagai, seorang mahasiswa berusia 25 tahun yang memilih Sanseito, mencerminkan sentimen anti-imigrasi yang tumbuh di Jepang. Nagai menyatakan ketidakpuasannya melihat kompensasi dan pengeluaran yang diberikan kepada warga asing, yang menurutnya menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap orang Jepang. Jepang, sebagai masyarakat tertua di dunia, mencatat rekor jumlah penduduk kelahiran asing sekitar 3,8 juta tahun lalu. Meskipun angka ini masih hanya 3% dari total populasi, jauh lebih kecil dibandingkan Amerika Serikat dan Eropa, peningkatan jumlah wisatawan asing telah meningkatkan visibilitas warga asing di seluruh negeri. Hal ini memicu kekhawatiran dan sentimen anti-imigrasi di sebagian masyarakat Jepang. Hasil pemilihan ini menunjukkan bahwa isu ini telah berhasil dimanfaatkan oleh partai-partai tertentu untuk meraih dukungan.