Kesedihan di Khan Younis: Kisah Keluarga Al-Najjar
Kesedihan di Khan Younis: Kisah Keluarga Al-Najjar
Tragedi yang Menghancurkan
Pada Minggu pagi, Tahani Yahya Al-Najjar mengunjungi saudara lelakinya, Hamdi Al-Najjar, di ruang perawatan intensif Rumah Sakit Khan Younis. Dengan suara bergetar, ia membisikkan kata-kata penyemangat, "Kamu baik-baik saja, ini akan berlalu." Namun, kata-kata itu terasa hampa di tengah kepedihan yang begitu mendalam. Hanya beberapa hari sebelumnya, rumah Hamdi, yang dihuni bersama sepuluh anaknya, hancur lebur akibat serangan udara Israel. Sembilan dari kesepuluh anak Hamdi, berusia antara satu hingga dua belas tahun, meninggal dunia dalam tragedi tersebut.
Hamdi, seorang dokter, dan satu-satunya anak yang selamat, segera dilarikan ke Rumah Sakit Nasser di Gaza Selatan. Hamdi mengalami luka-luka serius, termasuk cedera kepala dan pendarahan di perut serta dada, yang mengharuskannya menjalani dua kali operasi. Kondisi anak laki-lakinya yang selamat dilaporkan serius namun stabil. Istri Hamdi, Alaa Al-Najjar, yang juga seorang dokter, tidak berada di rumah saat serangan terjadi. Kehilangan yang dialami keluarga ini sungguh tak terbayangkan.
Kesaksian Tahani: Detik-detik Setelah Serangan
Tahani menggambarkan kekacauan yang terjadi setelah serangan udara tersebut. "Daerah itu penuh asap, pemboman sangat intensif. Saya menemukan seluruh rumah keluarga saya runtuh. Rumah saya berada di jalan di belakang mereka, dan mereka berada di jalan utama. Saya mulai bertanya, 'Di mana Hamdi, di mana anak-anak Hamdi?' Saudara laki-laki saya datang menjemput saya, lalu istri Hamdi memberi tahu saya bahwa anak-anaknya telah meninggal. Saya tidak sanggup mendengar apa yang dia katakan, saya juga tidak mengerti apa yang terjadi pada kami, karena kami berada dalam keadaan takut dan panik yang luar biasa. Ini tak terlukiskan. Segala puji bagi Tuhan."
Kesaksian Tahani menyayat hati. Bayangan rumah yang hancur, jeritan kepanikan, dan kenyataan pahit kehilangan sembilan anggota keluarga sekaligus menjadi gambaran nyata dari tragedi kemanusiaan yang terjadi. Ia menggambarkan rasa syok dan ketidakpercayaan yang begitu mendalam hingga membuatnya merasa seperti berada dalam mimpi buruk yang tak ingin berakhir. "Pada hari pertama, saya merasa seperti tidak sadar. Saya ingin seseorang memukul kepala saya agar saya bangun, karena apa yang saya lihat bukanlah kenyataan."
Penjelasan Pihak Israel dan Korban Sipil
Militer Israel telah mengkonfirmasi bahwa mereka melakukan serangan udara di Khan Younis pada hari Jumat, dan menyatakan bahwa serangan tersebut menargetkan tersangka di sebuah bangunan yang dekat dengan tentara Israel. Militer menyatakan sedang menyelidiki klaim bahwa warga sipil yang tidak terlibat tewas, dan menambahkan bahwa militer telah mengevakuasi warga sipil dari daerah tersebut sebelum operasi dimulai. Namun, penjelasan ini tidak mampu meredakan duka mendalam keluarga Al-Najjar dan keluarga korban lainnya.
Konflik yang telah berlangsung selama lebih dari 20 bulan ini telah menyebabkan lebih dari 53.900 warga Palestina tewas, menurut otoritas kesehatan Gaza, dan menghancurkan Jalur Gaza. Hampir semua dari lebih dari 2 juta warga Palestina di Gaza telah mengungsi. Tahani mengungkapkan keputusasaannya, "Kematian, perpisahan, dan kehancuran. Saya tinggal di rumah keluarga saya, kenangan saya, seluruh hidup saya telah hilang. Mereka tidak akan melakukan hal itu kepada orang-orang yang menjadi target seperti yang mereka lakukan kepada Hamdi. Sungguh, jika Anda melihat tempat itu. Tidak ada tempat aman yang tersisa bagi keluarga saya untuk berlindung."
Luka yang Mendalam dan Masa Depan yang Tak Pasti
Tragedi yang menimpa keluarga Al-Najjar adalah salah satu dari sekian banyak kisah pilu yang terjadi di tengah konflik berkepanjangan di Gaza. Kehilangan sembilan anak sekaligus merupakan pukulan yang sangat berat bagi keluarga ini, dan akan meninggalkan luka mendalam yang mungkin tak akan pernah sepenuhnya sembuh. Kisah ini menyoroti penderitaan warga sipil yang menjadi korban dalam konflik bersenjata, dan mempertanyakan tanggung jawab kemanusiaan serta upaya untuk melindungi warga sipil dalam situasi konflik. Hamdi, yang masih berjuang untuk bertahan hidup, dan satu-satunya anak laki-lakinya yang masih hidup, kini menghadapi masa depan yang tak pasti, dikelilingi oleh reruntuhan rumah dan kenangan yang menyayat hati. Kisah ini merupakan pengingat pahit tentang dampak perang terhadap kehidupan manusia dan pentingnya perdamaian bagi semua.