Krisis dan Transisi Politik di Bangladesh: Setahun Setelah Protes Mahasiswa

Krisis dan Transisi Politik di Bangladesh: Setahun Setelah Protes Mahasiswa

Setahun telah berlalu sejak mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina meninggalkan Bangladesh menyusul protes mahasiswa yang meluas. Negara berpenduduk 173 juta jiwa ini, yang kini dipimpin oleh pemerintahan sementara di bawah Nobel Perdamaian Muhammad Yunus, masih bergulat dengan ketidakstabilan yang mendalam. Tantangan besar menanti Bangladesh dalam perjalanan menuju pemilu dan reformasi yang komprehensif.

Protes Mematikan Juli 2024 dan Pengaruhnya

Protes yang dimulai oleh kelompok "Mahasiswa Menentang Diskriminasi" awalnya menargetkan sistem kuota dalam pekerjaan sektor publik. Namun, demonstrasi tersebut meningkat menjadi kerusuhan mematikan saat para demonstran, yang menuntut pengunduran diri Hasina, bentrok dengan pasukan keamanan dan pendukung partai Liga Awami miliknya. Pemerintah dituduh melakukan tindakan keras yang menewaskan ratusan dan melukai ribuan orang. Puncaknya pada 5 Agustus, ketika Hasina terpaksa melarikan diri ke India setelah para demonstran menyerbu kediaman resminya.

Pemerintahan Sementara Yunus dan Tantangan Reformasi

Pemerintahan sementara dibentuk dengan tugas mengembalikan stabilitas dan mempersiapkan pemilihan parlemen. Yunus, yang menjabat sebagai Perdana Menteri de facto, menjanjikan reformasi kelembagaan yang luas. Meskipun terdapat konsensus luas mengenai reformasi penting seperti mengembalikan pemerintahan sementara non-partisan untuk mengawasi pemilu, mendepolitisasi lembaga negara, dan mereformasi Komisi Pemilihan, namun kemajuannya lambat dan terfragmentasi.

Reformasi yang lebih mendalam terhambat oleh perbedaan pendapat yang tajam dengan partai-partai politik mengenai usulan perubahan konstitusi, reformasi peradilan, dan pengenalan parlemen bikameral. Para analis politik menunjukkan adanya kesenjangan yang semakin melebar antara harapan publik dan hasil yang dicapai.

Pemilu, Inklusivitas, dan Kontroversi

Pemerintahan Yunus berada di antara kebutuhan akan reformasi dan tekanan untuk pemilu dini, yang merupakan tantangan terbesarnya. Yunus mengusulkan Februari 2026 sebagai tanggal yang memungkinkan, sementara Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) dari mantan Perdana Menteri Khaleda Zia meminta batas waktu Desember 2025.

Situasi semakin tegang dengan kontroversi mengenai pengucilan partai Liga Awami milik Hasina setelah pendaftarannya dicabut, yang secara efektif melarang partai tersebut untuk ikut serta dalam kontestasi pemilu. Banyak pihak menginginkan partisipasi Liga Awami, meskipun kepemimpinan puncaknya sedang diadili atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia selama protes. Tanpa inklusivitas politik yang luas, legitimasi pemilu bisa dipertanyakan.

Munculnya Partai Warga Negara Nasional (NCP) yang baru dibentuk, yang lahir dari protes 2024, menimbulkan kecurigaan karena dianggap diuntungkan oleh pemerintahan Yunus, meskipun pemerintah membantahnya. Kecurigaan ini dapat mengaburkan kredibilitas pemilu.

Perubahan Budaya Politik, Namun Kemajuan yang Rentan

Penegakan hukum masih menjadi tantangan. Meskipun analis mengatakan kebebasan berekspresi telah meningkat sejak kepergian Hasina, dan dugaan penghilangan paksa selama masa jabatannya tampaknya telah berhenti, kekerasan politik, serangan massa, dan pelecehan terhadap jurnalis dan minoritas, terutama perempuan, masih sering dilaporkan. Kelompok hak asasi manusia Ain o Salish Kendra mencatat setidaknya 199 nyawa melayang akibat kekerasan massa antara Agustus 2024 dan Juli 2025.

Human Rights Watch memperingatkan bahwa meskipun beberapa praktik otoriter telah berakhir, pemerintahan sementara telah menerapkan taktik yang mengkhawatirkan, termasuk penahanan sewenang-wenang, penangkapan massal, dan penuntutan yang bermotif politik, yang sebagian besar menargetkan pendukung partai Hasina. Penyiksaan dalam tahanan dan penggunaan Undang-Undang Kekuatan Khusus terus berlanjut, mencerminkan taktik represif di masa lalu. Pemerintah membantah tuduhan tersebut.

Deklarasi Juli dan Jalan Menuju Reformasi

"Deklarasi Juli", sebuah piagam yang dirumuskan untuk memperingati satu tahun protes, akan diresmikan, yang menetapkan peta jalan untuk reformasi demokrasi. Dirancang oleh pemerintah dalam konsultasi dengan para pemimpin politik dan mahasiswa, deklarasi ini bertujuan untuk berkomitmen pada reformasi pemilu, perubahan konstitusi, dan akuntabilitas kelembagaan. Deklarasi ini dilihat sebagai penghormatan simbolis dan cetak biru strategis untuk transisi politik Bangladesh.

Namun, para kritikus memperingatkan bahwa deklarasi ini bisa tetap menjadi simbolis tanpa perlindungan hukum dan konsensus parlemen yang luas untuk mendorong perubahan besar. Jalan menuju stabilitas dan demokrasi di Bangladesh masih panjang dan penuh tantangan.