Krisis Kemanusiaan di Pedesaan Suriah: Antara Rasa Takut dan Harapan Pulang

Krisis Kemanusiaan di Pedesaan Suriah: Antara Rasa Takut dan Harapan Pulang

Konflik berdarah yang melanda wilayah pesisir Suriah pekan lalu telah memaksa ribuan warga sipil, sebagian besar dari komunitas Alawi, untuk mencari perlindungan di pangkalan udara Hmeimim milik Rusia. Kekejaman yang terjadi telah menghancurkan desa-desa mereka, meninggalkan jejak kehancuran dan kematian. Peristiwa ini menjadi sorotan krisis kemanusiaan yang kompleks, di mana rasa takut dan harapan untuk kembali ke rumah bercampur aduk.

Pelarian Massal ke Pangkalan Udara Hmeimim

Serangan-serangan yang menargetkan kota dan desa-desa yang didominasi penduduk Alawi telah menyebabkan ratusan kematian dan memaksa ribuan orang meninggalkan rumah mereka. Rana Boushieh, 34 tahun, menceritakan pengalamannya melarikan diri dari desanya, al-Sanobar, bersama keluarganya setelah terbangun oleh suara tembakan. Mereka awalnya mengungsi ke daerah lain di desa sebelum akhirnya bergabung dengan penduduk lainnya menuju pangkalan udara Hmeimim yang berjarak 11 kilometer. Setelah beberapa hari berada di pengungsian, Rana memutuskan untuk kembali ke Sanobar pada hari Kamis, didorong oleh kabar dari saudaranya yang mengatakan bahwa situasi telah mereda dan didampingi oleh pasukan keamanan pemerintah.

Namun, banyak pengungsi lainnya masih enggan meninggalkan Hmeimim. Ketakutan masih membayangi, meskipun ada harapan bahwa keadaan akan membaik. Angka pengungsi di pangkalan udara ini beragam, dengan pernyataan resmi pemerintah menyebutkan sekitar 1.500 orang, sementara juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menyebut angka sekitar 9.000 orang. Perbedaan angka ini menunjukkan kompleksitas situasi di lapangan dan kesulitan dalam mendapatkan informasi akurat di tengah kekacauan.

Kekejaman dan Kehancuran di Wilayah Pesisir

Laporan wartawan Reuters yang mengunjungi daerah tersebut pada hari Kamis, ditemani oleh personel keamanan pemerintah, menggambarkan pemandangan yang mengerikan. Banyak rumah dan toko dibakar dan dijarah, sementara desa-desa tampak sepi dan ditinggalkan penghuninya. Seorang pria yang baru kembali ke Sanobar membawa wartawan ke sebuah rumah tempat ia menemukan jenazah saudara dan keponakannya. Ia menolak disebutkan namanya karena takut akan keselamatannya. Grafiti dengan nama kelompok bersenjata Sunni Arab yang bersekutu dengan pemerintah terlihat di beberapa tempat, dengan pesan provokatif seperti "Kalian sendiri yang menyebabkan ini."

Kejadian ini dipicu oleh serangan terhadap pasukan keamanan oleh militan yang setia kepada mantan Presiden Bashar al-Assad. Pemerintah interim, yang dipimpin oleh Ahmed Sharaa, mantan pemimpin Al-Qaeda yang memutuskan hubungan dengan kelompok tersebut pada tahun 2016, menyatakan bahwa mereka yang bertanggung jawab akan dihukum, termasuk sekutunya sendiri jika perlu. Beberapa warga Alawi bahkan melarikan diri ke negara tetangga, Lebanon, menunjukkan skala luasnya krisis kemanusiaan ini.

Peran Rusia dan Seruan Bantuan Internasional

Kehadiran pangkalan udara Hmeimim, yang didirikan pada tahun 2015 ketika Rusia ikut campur dalam perang Suriah di pihak Assad, menjadi pusat perhatian. Rusia kini berupaya membangun hubungan dengan kepemimpinan Suriah yang baru, dan masa depan pangkalan udara Hmeimim dan pangkalan laut Rusia di Tartous masih belum jelas. Kehadiran pasukan keamanan pemerintah Suriah yang dikerahkan di sekitar pangkalan udara Hmeimim, dengan pesawat tempur Rusia yang terbang di atasnya, menunjukkan kompleksitas geopolitik yang terlibat dalam krisis ini.

Falak Issa, 60 tahun, yang meninggalkan pangkalan udara untuk kembali ke desanya, al-Qalaya, mendesak intervensi internasional untuk melindungi penduduk dan komunitas Alawi. Ia menggambarkan kengerian yang dialaminya, termasuk serangan bom dan senjata api yang intens. Kisah-kisah seperti ini menyoroti kebutuhan mendesak akan perlindungan dan bantuan kemanusiaan bagi para korban konflik ini. Kejadian ini sekali lagi menyoroti ketidakstabilan yang masih melanda Suriah dan mendesak dunia internasional untuk berperan aktif dalam mengakhiri kekerasan dan memberikan bantuan kepada mereka yang terkena dampak konflik. Harapan akan perdamaian dan rekonsiliasi nampaknya masih jauh dari jangkauan, sementara ribuan orang masih hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian.