Krisis Kobalt Kongo: Antara Larangan Ekspor dan Kuota Produksi
Krisis Kobalt Kongo: Antara Larangan Ekspor dan Kuota Produksi
Republik Demokratik Kongo (RDK), sebagai pemasok kobalt terbesar dunia, tengah mempertimbangkan penerapan kuota ekspor kobalt. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mengatasi kelebihan pasokan dan menaikkan harga kobalt yang saat ini berada di level terendah secara historis. Hal ini diungkapkan oleh tiga sumber yang mengetahui detail rencana tersebut kepada Reuters, dengan catatan kerahasiaan identitas mereka.
Harga Kobalt yang Terpuruk
Harga kobalt tengah mengalami penurunan drastis, mencapai titik terendah sejak kontrak logam tersebut diluncurkan pada tahun 2010, yaitu sekitar $21.000 per ton metrik. Angka ini jauh dari rekor tertinggi pada April 2022 yang mencapai $82.000 per ton metrik. Penurunan ini didorong oleh beberapa faktor, antara lain melemahnya permintaan dari produsen otomotif dan peningkatan produksi tembaga – yang mana kobalt merupakan produk sampingannya – guna memanfaatkan harga tembaga yang tinggi. Peningkatan produksi tembaga ini secara tidak langsung meningkatkan volume produksi kobalt, memperparah kondisi kelebihan pasokan.
Larangan Ekspor Sementara dan Rencana Kuota
Sebagai respons atas situasi ini, RDK telah memberlakukan larangan ekspor kobalt selama empat bulan, dimulai pada Senin lalu. Larangan ini diumumkan oleh Otoritas Pengaturan dan Pengendalian Pasar Bahan Mineral Strategis (ARECOMS). Namun, larangan sementara ini dinilai tidak cukup efektif untuk membatasi aliran kobalt di pasar dan kemungkinan tidak akan berdampak signifikan dan berkelanjutan terhadap harga. Analis dan sumber-sumber tersebut memperkirakan harga kobalt akan terus melemah ketika perusahaan-perusahaan mulai melepaskan stok kobalt yang telah mereka simpan.
Pemerintah RDK berencana untuk menerapkan kuota ekspor kobalt setelah masa larangan ekspor sementara berakhir. Negosiasi terkait kuota ini direncanakan akan dilakukan selama periode penangguhan ekspor tersebut. Upaya sebelumnya oleh pemerintah untuk membujuk perusahaan pertambangan agar secara sukarela mengurangi aliran kobalt ke pasar internasional belum membuahkan hasil.
Gagalnya Negosiasi dengan CMOC
Dua sumber menyebutkan bahwa upaya perusahaan pertambangan milik negara RDK, Gecamines, untuk meyakinkan CMOC Group (perusahaan asal Tiongkok) dalam mengatur aliran kobalt di pasar dan membatasi dampaknya terhadap harga melalui usaha patungan mereka, juga gagal. CMOC, sebagai penambang kobalt terbesar di dunia, mengalami peningkatan produksi kobalt lebih dari dua kali lipat pada tahun lalu, mencapai sekitar 114.000 ton metrik. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan produksi tembaga di tambang Tenke Fungurume dan Kisanfu di Kongo yang mencapai sekitar 650.000 ton. CMOC menyatakan bahwa produksi di tambang-tambang tersebut tidak terpengaruh oleh larangan ekspor sementara dan tidak memperkirakan dampak signifikan terhadap kinerja bisnis mereka.
Eurasian Resources Group dan Glencore, yang juga merupakan produsen kobalt besar di Kongo, menolak berkomentar terkait hal ini.
Analisis Pasar dan Prospek Ke Depan
Analis dari BMO Capital Markets memperkirakan bahwa larangan ekspor kobalt dapat mengurangi sekitar 65.000 ton kobalt dari pasar. Meskipun larangan ini mungkin akan meningkatkan harga spot untuk sementara, dampaknya diperkirakan akan bersifat sementara karena perusahaan pertambangan akan terus menimbun kobalt. Analis tersebut memprediksi bahwa langkah ini akan berujung pada pengendalian pasokan lebih lanjut di masa depan, dengan langkah selanjutnya yang paling mungkin adalah penerapan kuota produksi atau ekspor. Perlu adanya strategi jangka panjang yang terintegrasi untuk memastikan keberlanjutan industri pertambangan kobalt di Kongo, menyeimbangkan kepentingan ekonomi negara dengan keberlanjutan lingkungan dan ketersediaan kobalt untuk pasar global. Ketidakpastian kebijakan dan fluktuasi harga kobalt menimbulkan tantangan bagi investor dan perusahaan pertambangan yang beroperasi di RDK. Pemerintah RDK perlu mempertimbangkan dampak kebijakannya terhadap seluruh pemangku kepentingan dan mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.