Krisis Myanmar: ASEAN Tekankan Dialog dan Gencatan Senjata, Bukan Pemilu
Krisis Myanmar: ASEAN Tekankan Dialog dan Gencatan Senjata, Bukan Pemilu
ASEAN, dalam pertemuan tingkat menteri di Langkawi, Malaysia, secara tegas menyampaikan kepada pemerintah militer Myanmar bahwa penyelenggaraan pemilu di tengah perang saudara yang meningkat bukanlah prioritas utama. Pertemuan tersebut, yang dipimpin oleh Malaysia sebagai ketua ASEAN tahun ini, menekankan perlunya gencatan senjata dan dialog untuk menyelesaikan konflik berdarah di negara tersebut.
Desakan Gencatan Senjata dan Akses Kemanusiaan
Menteri Luar Negeri Malaysia, Mohamad Hasan, dalam konferensi pers usai pertemuan, menyatakan bahwa ASEAN mendesak semua pihak yang bertikai di Myanmar untuk menghentikan pertempuran. Malaysia, sebagai ketua ASEAN, ingin memahami rencana Myanmar ke depan, namun menekankan bahwa gencatan senjata dan dialog damai harus diprioritaskan jauh sebelum pemilu. "Pemilu bukanlah prioritas," tegas Mohamad Hasan. "Prioritas sekarang adalah gencatan senjata."
Situasi di Myanmar telah memanas sejak kudeta militer pada awal 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi. Kudeta tersebut memicu protes pro-demokrasi yang kemudian berubah menjadi pemberontakan bersenjata yang meluas dan menguasai sebagian besar wilayah negara. Meskipun menghadapi berbagai tekanan dari berbagai pihak, perekonomian yang hancur, dan puluhan partai politik yang dilarang, junta militer tetap berencana mengadakan pemilu tahun ini – sebuah langkah yang dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan melalui boneka.
Utusan Khusus Malaysia dan Rencana Perdamaian Lima Poin
Malaysia menunjuk mantan diplomat Othman Hashim sebagai utusan khusus untuk krisis Myanmar. Penetapan ini dilakukan di tengah kebutuhan kemanusiaan yang mengkhawatirkan di Myanmar, di mana hampir 20 juta orang – lebih dari sepertiga populasi – membutuhkan bantuan, seperti yang diungkapkan oleh PBB. Othman akan segera mengunjungi Myanmar dengan tugas utama untuk membujuk semua pihak untuk mengimplementasikan Rencana Perdamaian Lima Poin ASEAN yang hingga kini belum menunjukkan kemajuan berarti sejak diluncurkan beberapa bulan setelah kudeta. Kegagalan junta militer untuk mematuhi rencana tersebut telah mengakibatkan mereka dilarang menghadiri pertemuan ASEAN, dengan Myanmar diwakili oleh seorang diplomat senior.
Mohamad Hasan menegaskan kembali komitmen ASEAN terhadap Rencana Perdamaian Lima Poin, menekankan pentingnya penghentian permusuhan dan dimulainya dialog. "Yang kami inginkan adalah bantuan kemanusiaan tanpa hambatan yang dapat menjangkau semua orang di Myanmar," ujarnya.
Kekhawatiran di Laut Cina Selatan: Keseimbangan antara Kerja Sama dan Ketegangan
Selain krisis Myanmar, Malaysia sebagai ketua ASEAN juga menghadapi tantangan lain yaitu meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan. Ketegangan ini terutama disebabkan oleh klaim kedaulatan Tiongkok atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan, yang merupakan jalur pelayaran penting bagi perdagangan global senilai sekitar US$3 triliun per tahun. Filipina, Vietnam, dan Malaysia telah memprotes tindakan kapal-kapal Tiongkok di zona ekonomi eksklusif mereka, meskipun Tiongkok mengklaim kegiatan tersebut legal.
Meskipun Tiongkok dan ASEAN telah berkomitmen untuk menyusun kode etik untuk Laut Cina Selatan, perundingan berjalan sangat lambat. Mohamad Hasan menyatakan bahwa para menteri menyambut baik kemajuan yang telah dicapai sejauh ini, namun menekankan perlunya mempercepat proses penyusunan kode etik tersebut. Menteri Luar Negeri Filipina, sekutu AS, menyatakan perlunya memulai negosiasi untuk membahas isu-isu kunci yang rumit, termasuk ruang lingkup kode etik, apakah akan mengikat secara hukum, dan dampaknya terhadap negara-negara pihak ketiga.
Pertemuan di Langkawi menyoroti kompleksitas tantangan yang dihadapi ASEAN. Di satu sisi, organisasi tersebut berupaya untuk menjaga perdamaian dan stabilitas regional, sementara di sisi lain, harus menghadapi tekanan dari kekuatan besar seperti Tiongkok dan krisis yang berkepanjangan di Myanmar. Keberhasilan ASEAN dalam menangani kedua tantangan ini akan menjadi ujian penting bagi kredibilitas dan efektivitas organisasi regional tersebut. Tekanan untuk mencapai solusi damai di Myanmar semakin meningkat, sementara negosiasi kode etik untuk Laut Cina Selatan memerlukan diplomasi yang cermat dan keseimbangan kepentingan yang rumit.