Pemilu Mauritius: Perjuangan Menanggulangi Krisis Biaya Hidup
Pemilu Mauritius: Perjuangan Menanggulangi Krisis Biaya Hidup
Penduduk Mauritius, negara kepulauan di Samudra Hindia yang berpenduduk sekitar 1,3 juta jiwa, akan menentukan nasib mereka dalam pemilihan parlemen yang akan diadakan pada hari Minggu. Keputusan ini sangat penting bagi negara yang dikenal sebagai penghubung antara Afrika dan Asia, serta memperoleh sebagian besar pendapatannya dari sektor keuangan lepas pantai, pariwisata, dan tekstil yang berkembang.
Meskipun Mauritius memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5% tahun ini, dibandingkan dengan 7,0% tahun lalu, banyak pemilih belum merasakan manfaatnya. Hal ini mendorong kampanye politik yang penuh dengan janji untuk mengatasi krisis biaya hidup yang tengah dihadapi rakyat.
Pertempuran Janji Politik
Koalisi Alliance Lepep yang dipimpin oleh Perdana Menteri Pravind Kumar Jugnauth menjanjikan untuk menaikkan upah minimum, meningkatkan pensiun, dan mengurangi pajak pertambahan nilai (PPN) pada beberapa barang pokok. Mereka menyatakan akan memanfaatkan pembayaran dari Inggris berdasarkan perjanjian Oktober untuk Inggris menyerahkan Kepulauan Chagos, sambil mempertahankan pangkalan udara Diego Garcia milik AS-Inggris. Mauritius juga menerima bantuan dari China.
"Koalisi yang dipimpin oleh Perdana Menteri menjual kartu kemakmuran ekonomi, dengan janji lebih banyak uang untuk berbagai segmen populasi," ujar analis politik Subash Gobine.
Oposisi pun tidak kalah agresif dalam menebar janji. Mereka bertekad untuk menaikkan pensiun, memperkenalkan transportasi dan layanan internet gratis, serta menurunkan harga bahan bakar. Oposisi didominasi oleh koalisi Alliance du Changement yang dipimpin oleh Navin Ramgoolam dan dua partai lainnya yang berlaga dalam koalisi Linion Reform, yang dipimpin oleh Nando Bodha dan Roshi Bhadain, dengan rencana untuk bergantian menjadi perdana menteri jika mereka menang.
Pemilih Muda sebagai Penentu
"Generasi muda akan menjadi penentu dalam pemilihan kali ini," kata David Stafford, seorang pemilih berusia 36 tahun di ibukota Port Louis. Ia menjelaskan bahwa masyarakat menginginkan inovasi ekonomi dan peluang kerja, selain perubahan fiskal.
Lebih dari satu juta orang diperkirakan akan memilih anggota parlemen untuk mengisi 62 kursi parlemen di pulau tersebut selama lima tahun ke depan, dari daftar 68 partai dan lima koalisi politik.
Kontroversi Pemblokiran Media Sosial
Minggu lalu, pemerintah Jugnauth memblokir platform media sosial hingga sehari setelah pemilihan, ketika hasil diperkirakan akan diumumkan, dengan alasan masalah keamanan nasional setelah percakapan antara tokoh publik bocor. Mereka mencabut blokir sehari kemudian setelah partai-partai oposisi mengkritik langkah tersebut.
Pemungutan suara dimulai pada pukul 03.00 GMT pada hari Minggu dan berakhir pada pukul 14.00 GMT. Partai atau koalisi yang memperoleh lebih dari setengah kursi di parlemen akan memenangkan jabatan perdana menteri.
Pemilu di Mauritius kali ini menjadi momen krusial untuk menentukan arah masa depan negara. Perjuangan untuk mengatasi krisis biaya hidup, serta janji-janji politik yang beragam, menjadi sorotan utama dalam persaingan politik yang ketat. Hasil pemilu akan menentukan siapa yang akan memimpin negara kepulauan ini menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.