Penarikan Pasukan AS dari Afghanistan: Sebuah Kajian Ulang yang Kontroversial
Penarikan Pasukan AS dari Afghanistan: Sebuah Kajian Ulang yang Kontroversial
Penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan pada Agustus 2021 meninggalkan jejak kontroversi yang mendalam. Operasi evakuasi yang kacau tersebut menewaskan 13 personel militer AS dan 150 warga Afghanistan dalam sebuah serangan bom ISIS di bandara Kabul. Kejadian ini memicu serangkaian investigasi dan peninjauan, namun Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth baru-baru ini memerintahkan "kajian komprehensif" baru terhadap peristiwa tersebut. Langkah ini menimbulkan pertanyaan tentang perlunya kajian ulang yang lain dan potensi politisasi isu ini.
Sejarah Penarikan dan Tuduhan Politisasi
Keputusan untuk menarik pasukan AS dari Afghanistan telah menjadi titik perdebatan sengit di Amerika Serikat. Administrasi Biden, yang mengawasi penarikan tersebut, sebagian besar menyalahkan kekacauan yang terjadi pada kurangnya perencanaan yang matang dan pengurangan jumlah pasukan oleh pemerintahan Trump sebelumnya, menyusul kesepakatan tahun 2020 dengan Taliban untuk menarik pasukan AS. Kesepakatan ini, yang terburu-buru disusun menjelang penarikan pasukan AS, sering dikritik karena kurangnya pertimbangan atas keamanan warga sipil dan implikasi jangka panjang bagi stabilitas Afghanistan.
Ironisnya, Donald Trump, selama masa kampanyenya, sering mengkritik Biden dan pemerintahannya atas penanganan penarikan tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang motif di balik kajian ulang yang diperintahkan oleh Hegseth, yang merupakan anggota Partai Republik. Banyak pihak khawatir bahwa kajian ini lebih bertujuan untuk menyerang pemerintahan Biden daripada untuk mencari kebenaran dan akuntabilitas yang sebenarnya. Tuduhan politisasi pun tak terelakkan, mengingat sejumlah peninjauan sebelumnya telah dilakukan oleh militer AS, Departemen Luar Negeri, dan bahkan oleh anggota Partai Republik di DPR.
Tujuan dan Cakupan Kajian Ulang Hegseth
Dalam sebuah memo, Hegseth menyatakan bahwa setelah tiga bulan meninjau penarikan tersebut, kajian komprehensif diperlukan untuk memastikan akuntabilitas atas peristiwa yang terjadi. Ia menekankan pentingnya langkah ini untuk mengembalikan kepercayaan publik dan para personel militer. Jumlah korban jiwa dan peralatan yang hilang selama operasi penarikan menjadi alasan utama perlunya kajian ulang ini, menurut Hegseth.
Sean Parnell, juru bicara Pentagon dan penasihat senior, ditunjuk untuk memimpin kajian ulang ini. Komposisi panel peninjau juga mencakup individu-individu yang pernah bertugas di Afghanistan, termasuk Stuart Scheller, yang secara terbuka mengkritik penarikan tersebut saat masih bertugas di Korps Marinir. Kehadiran Scheller dalam panel peninjau ini menunjukkan komitmen untuk mendengarkan berbagai perspektif dan pengalaman, meskipun hal ini juga dapat menambah kontroversi mengingat kritik kerasnya terhadap kepemimpinan militer AS.
Perbandingan dengan Investigasi Sebelumnya
Kajian ulang yang diperintahkan oleh Hegseth bukan merupakan investigasi pertama terhadap penarikan pasukan dari Afghanistan. Para pejabat militer senior AS, termasuk mantan Menteri Pertahanan Lloyd Austin dan mantan Jenderal Mark Milley, telah memberikan kesaksian di hadapan anggota parlemen. Komando Pusat AS, yang mengawasi operasi di Timur Tengah, juga telah melakukan investigasi terhadap serangan ISIS yang menewaskan 13 tentara AS dan puluhan warga Afghanistan.
Pertanyaan kunci yang muncul adalah bagaimana kajian ulang Hegseth akan berbeda dari investigasi-investigasi sebelumnya. Apakah kajian ini akan mengungkap informasi baru yang signifikan? Atau apakah kajian ini hanya akan mengulang temuan-temuan yang telah ada sebelumnya, namun dengan nuansa politik yang berbeda? Kejelasan dan transparansi dalam proses dan hasilnya sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan mencegah politisasi yang lebih lanjut.
Implikasi dan Masa Depan
Penarikan pasukan AS dari Afghanistan merupakan peristiwa bersejarah yang memiliki implikasi jangka panjang bagi keamanan regional dan hubungan internasional. Kajian ulang yang komprehensif, bebas dari pengaruh politik, sangat diperlukan untuk memahami kesalahan-kesalahan yang terjadi, belajar dari pengalaman tersebut, dan mencegah tragedi serupa di masa depan. Namun, keberhasilan kajian ini bergantung pada komitmen untuk objektivitas dan transparansi, serta kemauan untuk menghadapi kebenaran, terlepas dari afiliasi politik. Jika kajian ini hanya digunakan sebagai alat politik, maka kepercayaan publik akan semakin tergerus dan tujuan utama untuk mencapai akuntabilitas dan perbaikan akan gagal tercapai. Keberhasilan atau kegagalan kajian ini akan menjadi barometer penting bagi kepercayaan publik terhadap proses pengambilan keputusan strategis di pemerintahan AS.