Perbaikan Hubungan Prancis-Aljazair: Sebuah Titik Balik?

Perbaikan Hubungan Prancis-Aljazair: Sebuah Titik Balik?

Hubungan antara Prancis dan Aljazair, yang selama beberapa dekade diwarnai oleh kompleksitas sejarah, telah mengalami perbaikan signifikan. Setelah beberapa bulan perselisihan yang merugikan kepentingan ekonomi dan keamanan Prancis di bekas koloninya, Menteri Luar Negeri Prancis menyatakan bahwa hubungan kedua negara telah kembali normal. Pernyataan ini disampaikan menyusul pertemuan selama 2,5 jam dengan Presiden Aljazair, Abdelmadjid Tebboune.

Akar Permasalahan dan Dampaknya

Ketegangan antara Paris dan Algiers meningkat tajam pada Juli lalu, ketika Presiden Macron membuat pernyataan yang memicu kemarahan Aljazair dengan mengakui rencana otonomi untuk wilayah Sahara Barat di bawah kedaulatan Maroko. Konflik ini memiliki dampak luas pada berbagai sektor, mulai dari ekonomi hingga keamanan. Perdagangan bilateral yang signifikan terganggu, dan sekitar 10% dari populasi Prancis (68 juta jiwa) memiliki ikatan dengan Aljazair. Akibatnya, beberapa proyek ekonomi mengalami hambatan, dan perusahaan Prancis menghadapi kesulitan mendapatkan izin administratif dan pendanaan baru di Aljazair.

Salah satu sektor yang paling terdampak adalah impor gandum. Para pedagang melaporkan bahwa keretakan diplomatik tersebut menyebabkan Badan Gandum Aljazair (OAIC) secara diam-diam mengecualikan gandum dan perusahaan Prancis dari tender impor sejak Oktober. Meskipun OAIC mengklaim memperlakukan semua pemasok secara adil, dampaknya terhadap Prancis sangat terasa.

Pemulihan Hubungan dan Fokus pada Kerjasama Ekonomi

Kunjungan Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, ke Aljazair menandai babak baru dalam hubungan kedua negara. Barrot menyatakan bahwa kedua negara akan mengaktifkan kembali semua mekanisme kerjasama di semua sektor. Ia juga mengutip pernyataan Presiden Tebboune yang menyatakan bahwa "tirai telah terangkat," menandakan berakhirnya periode ketegangan. Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari percakapan telepon antara Presiden Macron dan Presiden Tebboune pada 31 Maret, di mana keduanya menyepakati peta jalan untuk meredakan ketegangan.

Barrot secara khusus membahas kesulitan dalam pertukaran ekonomi, terutama di sektor agrobisnis, otomotif, dan transportasi maritim. Ia mendapatkan jaminan dari Presiden Tebboune mengenai komitmen Aljazair untuk memberikan dorongan baru pada kerjasama ekonomi. Pernyataan ini menawarkan harapan bagi perusahaan Prancis yang beroperasi di Aljazair, yang sebelumnya menghadapi hambatan signifikan dalam menjalankan bisnis mereka.

Isu Keamanan dan Kasus Penangkapan Penulis

Selain masalah ekonomi, hubungan kedua negara juga memburuk di bidang keamanan. Kerjasama keamanan, termasuk dalam memerangi militansi Islam, terhenti. Penahanan penulis Franco-Aljazair berusia 80 tahun, Boualem Sansal, oleh Aljazair pada November lalu semakin memperburuk situasi. Sansal kemudian dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Barrot berharap Aljazair dapat menunjukkan "kemanusiaan" dengan mempertimbangkan usia dan kesehatan Sansal.

Politik Dalam Negeri dan Kebijakan Imigrasi

Perselisihan antara Prancis dan Aljazair juga telah memicu perdebatan politik dalam negeri di kedua negara. Di Prancis, Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau menyerukan peninjauan kembali pakta tahun 1968 antara kedua negara yang memudahkan warga Aljazair menetap di Prancis. Hal ini menyusul penolakan Aljazair untuk menerima kembali beberapa warganya yang diperintahkan untuk meninggalkan Prancis berdasarkan rezim deportasi "OQTF" (obligation to leave French territory). Barrot menyatakan bahwa Retailleau akan segera mengunjungi Aljazair dan kedua pihak akan melanjutkan kerjasama dalam isu-isu peradilan.

Bekas Luka Sejarah dan Jalan Menuju Masa Depan

Hubungan Prancis-Aljazair dibebani oleh trauma perang tahun 1954-1962, yang mengakhiri kekuasaan kolonial Prancis di Aljazair. Perang tersebut meninggalkan bekas luka mendalam di kedua negara, dan mempengaruhi dinamika hubungan hingga saat ini. Perbaikan hubungan yang baru-baru ini terjadi, meskipun menjanjikan, tetap harus diuji oleh waktu. Keberhasilan upaya pemulihan ini bergantung pada komitmen kedua negara untuk mengatasi masalah yang tersisa dan membangun kembali kepercayaan yang telah lama terkikis. Jalan menuju hubungan yang benar-benar harmonis masih panjang dan membutuhkan upaya yang berkelanjutan dari kedua belah pihak.