Perlambatan Ekonomi India: Tantangan dan Strategi Pemulihan

Perlambatan Ekonomi India: Tantangan dan Strategi Pemulihan

Pertumbuhan Ekonomi yang Menurun

India, yang sebelumnya mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, kini menghadapi perlambatan tajam. Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 6,4% untuk tahun fiskal yang berakhir Maret mendatang merupakan angka terendah dalam empat tahun terakhir, jauh di bawah proyeksi awal pemerintah. Pelemahan investasi dan manufaktur menjadi faktor utama penyebab penurunan ini. Indikator ekonomi yang mengecewakan dan penurunan laba perusahaan pada paruh kedua tahun 2024 semakin memperparah situasi, memaksa investor untuk merevisi penilaian mereka terhadap kinerja ekonomi India dan meragukan target ekonomi ambisius Perdana Menteri Narendra Modi.

Ketidakpastian Global dan Sentimen Pasar

Perlambatan ini terjadi di tengah kondisi global yang memburuk dan melemahnya kepercayaan pasar. Kembalinya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat menambah ketidakpastian pada prospek perdagangan global. Penurunan indeks Nifty 50 sebesar 12% dari akhir September hingga November, meskipun kemudian pulih hingga akhir tahun, mencerminkan kekhawatiran yang berkembang di pasar. Kenaikan indeks sebesar 8,7% pada akhir 2024, meskipun positif, jauh lebih rendah dibandingkan lonjakan 20% pada tahun sebelumnya.

Desakan untuk Mengatasi Perlambatan

Kondisi ini memicu seruan untuk pemerintah India mengambil langkah-langkah guna meningkatkan sentimen pasar. Usulan yang muncul antara lain pelonggaran kebijakan moneter, memperlambat pengetatan fiskal, serta mendorong peningkatan konsumsi. Madhavi Arora, kepala ekonom di Emkay Global Financial Services, menekankan pentingnya "menghidupkan kembali semangat optimisme" dan meningkatkan konsumsi. Ia menyarankan perluasan neraca fiskal atau penurunan suku bunga untuk mencapai hal tersebut.

Serangkaian pertemuan antara pembuat kebijakan India dengan kalangan bisnis yang semakin khawatir atas melemahnya permintaan semakin menguatkan desakan ini. Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman mengadakan sejumlah pertemuan pada bulan Desember dengan kalangan industri dan ekonom, sebagai persiapan untuk anggaran tahunan India yang akan diumumkan pada 1 Februari. Beberapa langkah yang diusulkan untuk mendorong pertumbuhan termasuk penambahan uang di tangan konsumen, pemotongan pajak, dan pengurangan tarif.

Kebijakan Moneter dan Perubahan Kepemimpinan Bank Sentral

Laporan ekonomi bulanan India bulan lalu menyatakan bahwa kebijakan moneter ketat bank sentral turut berperan dalam penurunan permintaan. Dalam sebuah langkah mengejutkan pada bulan Desember, Modi menunjuk Sanjay Malhotra sebagai gubernur bank sentral yang baru, menggantikan Shaktikanta Das. Penunjukan Malhotra, yang menyatakan bahwa bank sentral akan berupaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, terjadi setelah pertumbuhan kuartal September melambat jauh lebih dari yang diperkirakan, mencapai 5,4%.

Selama pandemi, Modi berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pengeluaran infrastruktur dan pembatasan pengeluaran yang tidak perlu. Strategi ini memang meningkatkan pertumbuhan PDB secara nominal, tetapi tidak mampu menopang pertumbuhan upah dan konsumsi yang berkelanjutan di atas 7% per tahun dalam tiga tahun terakhir.

Prospek Pertumbuhan Ekonomi dan Strategi ke Depan

Pertanyaan utama kini adalah apakah India mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%-7,5% atau justru melambat ke kisaran 5%-6%. Sanjay Kathuria, peneliti senior di Centre for Social and Economic Progress, mengemukakan hal ini. Madhavi Arora menambahkan bahwa India saat ini berada dalam kondisi "agak stagnan" di mana masyarakat cenderung menahan pengeluaran. Ia memperkirakan kondisi ini akan berlanjut jika lapangan kerja tidak membaik dan pertumbuhan upah tetap lemah.

Pemerintah berencana memangkas pajak untuk beberapa kalangan dan mempersiapkan pemotongan tarif untuk beberapa barang pertanian dan lainnya yang sebagian besar diimpor dari AS, sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pemerintahan Trump. Para ekonom mengatakan pemerintah perlu memperlambat pengetatan fiskal untuk mendukung pertumbuhan, dengan keberhasilan langkah-langkah tersebut bergantung pada besarnya pemotongan yang dilakukan.

Dalam hal perdagangan, India membutuhkan rencana yang kredibel untuk menghadapi perang tarif yang diprakarsai Trump. Jika China tetap menjadi target utama tarif Trump, hal ini dapat menjadi peluang bagi India untuk meningkatkan profil perdagangannya. Namun, India juga perlu memungkinkan penurunan nilai rupee untuk membuat ekspornya lebih kompetitif.

India perlu "menerapkan rasionalisasi tarif secara serius untuk membantu integrasi yang lebih dalam ke dalam rantai nilai global," kata Kathuria, yang juga merupakan profesor madya di Georgetown University. Ini dapat mencakup pemotongan tarif untuk mengantisipasi potensi penerapan bea masuk dari pemerintahan Trump. Sachin Chaturvedi, kepala Research and Information System for Developing Countries di New Delhi, menambahkan bahwa India harus "mengumumkan beberapa langkah proaktif untuk AS secara sukarela guna mendapatkan konsesi dari AS, daripada menunggu pemerintahan baru untuk mengumumkan langkah-langkah mereka."