Perpanjangan Hukum Darurat Militer di Ukraina dan Tantangan Pemilu di Tengah Konflik
Perpanjangan Hukum Darurat Militer di Ukraina dan Tantangan Pemilu di Tengah Konflik
Situasi Politik Ukraina yang Kompleks
Parlemen Ukraina hampir dipastikan akan memperpanjang masa berlaku hukum darurat militer sebelum berakhir pada 9 Mei. Hal ini disampaikan oleh Ketua Parlemen Ruslan Stefanchuk, yang menekankan sulitnya menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil di tengah kondisi negara yang sebagian wilayahnya diduduki dan masih terus diserang. Pernyataan ini disampaikan di tengah tekanan dari Amerika Serikat dan Rusia untuk mengadakan pemilu baru.
Invasi Rusia yang dimulai pada Februari 2022 telah menimbulkan berbagai tantangan, termasuk upaya Rusia untuk menggambarkan pemerintah Ukraina, khususnya Presiden Volodymyr Zelenskyy, sebagai rezim yang tidak sah. Masa jabatan Zelenskyy yang berdurasi lima tahun berakhir tahun lalu. Namun, Stefanchuk menegaskan komitmen Ukraina terhadap pemilu demokratis, membandingkannya dengan Rusia yang telah menyingkirkan oposisi politik dalam negeri dan dituduh melakukan kampanye rahasia untuk memengaruhi berbagai pemilu di luar negeri. Ia menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu demokratis merupakan prioritas utama Ukraina, sebagai pembeda utama antara Ukraina dan Federasi Rusia.
Hambatan Praktis dan Teknis Pemilu di Ukraina
Persiapan untuk pemilu mendatang memang telah dimulai, tetapi masih dalam tahap sangat awal. Pemilu parlemen dan presiden terakhir diadakan di Ukraina pada tahun 2019. Persetujuan parlemen diperlukan setiap 90 hari untuk memperpanjang hukum darurat militer, yang memungkinkan mobilisasi pasukan dan penangguhan siklus pemilihan. Stefanchuk menegaskan hampir pasti parlemen akan memperbarui persetujuan tersebut karena "perang belum berakhir".
Kondisi perang menimbulkan sejumlah hambatan signifikan terhadap penyelenggaraan pemilu. Sekitar 800.000 pemilih potensial saat ini sedang bertugas aktif di militer, baik berperang maupun dalam pelatihan. Hampir lima juta penduduk Ukraina sebelum perang (sekitar 44 juta) terdaftar sebagai pengungsi internal, sementara lebih dari empat juta warga Ukraina terdaftar tinggal di negara-negara Uni Eropa, belum termasuk mereka yang mengungsi tetapi tidak terdaftar. Sekitar seperlima wilayah Ukraina, di bagian selatan dan timur, diduduki oleh Rusia.
Posisi Amerika Serikat dan Negosiasi yang Terhenti
Meskipun Donald Trump pada masa jabatan keduanya sempat mempertanyakan dukungan militer berkelanjutan untuk Kyiv di tengah upaya pendekatan ke Rusia, dan menuntut diakhirinya perang dengan cepat, negosiasi saat ini masih buntu. Pertempuran masih berkecamuk di garis depan sepanjang 1.000 km, dan kota-kota di seluruh negeri hidup dalam ketakutan akan pemboman Rusia.
Bahkan setelah konflik berakhir, pemulihan kondisi untuk menyelenggarakan pemilu yang layak akan menjadi tantangan besar. Ukraina perlu menciptakan kerangka kerja dari awal, termasuk undang-undang baru yang akan menjelaskan waktu, aturan, dan prosedur pemilu. Stefanchuk mengatakan para anggota parlemen, pejabat pemilu, dan ahli lainnya sedang mengerjakan masalah ini, tetapi belum mulai menyusun rancangan undang-undang. Belum ada keputusan yang dibuat tentang urutan pemungutan suara lokal, parlemen, dan presiden yang semuanya harus diadakan. Ia menambahkan bahwa menyelenggarakan semua pemilu secara bersamaan secara teoritis pun tidak realistis.
Biaya dan Keamanan Pemilu di Masa Perang
Sebelum perang, pemilu menghabiskan biaya sekitar 4 miliar hryvnia (sekitar $100 juta). Namun, selain membiayai kampanye dan pemungutan suara, Kyiv juga perlu menjamin keamanan dan mencegah setiap upaya manipulasi yang mungkin dilakukan oleh musuh, Moskow. Tantangan ini semakin memperumit upaya untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas, adil, dan representatif di tengah situasi konflik yang masih berlangsung. Oleh karena itu, perpanjangan hukum darurat militer menjadi solusi yang dianggap paling praktis dan realistis untuk saat ini.