Perundingan Nuklir Iran-AS: Jalan Buntu dan Secercah Harapan

Perundingan Nuklir Iran-AS: Jalan Buntu dan Secercah Harapan

Perundingan keempat antara Iran dan Amerika Serikat (AS) terkait program nuklir Teheran berakhir di Oman pada Minggu lalu, dengan rencana perundingan lanjutan. Meskipun kedua belah pihak menyatakan preferensi diplomasi untuk menyelesaikan perselisihan nuklir yang telah berlangsung selama beberapa dekade ini, namun perbedaan mendasar yang signifikan tetap menjadi hambatan besar menuju kesepakatan baru dan mencegah tindakan militer di masa depan.

Jalan Buntu yang Membuntukan

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, dan utusan Timur Tengah Presiden Trump, Steve Witkoff, melakukan pembicaraan langsung dan tidak langsung selama lebih dari tiga jam melalui mediator Oman. Araqchi menggambarkan perundingan ini "lebih serius dan lebih lugas dibandingkan tiga putaran sebelumnya," menunjukkan adanya peningkatan pemahaman di antara kedua pihak. Namun, optimisme tersebut terhalang oleh perbedaan mendasar mengenai program pengayaan uranium Iran.

AS, melalui pernyataan Witkoff kepada Breitbart News, menetapkan garis merah yang tegas: "Tidak ada pengayaan. Itu berarti pembongkaran, tidak ada pembuatan senjata." Hal ini menuntut pembongkaran lengkap fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan. Permintaan ini bertolak belakang dengan pendirian Iran yang sama teguhnya. Araqchi menegaskan bahwa "tidak ada ruang untuk kompromi pada pengayaan uranium" di wilayah Iran. Ia menjelaskan bahwa meskipun dimensi, skala, tingkat, atau jumlahnya mungkin dapat dibatasi untuk membangun kepercayaan, prinsip pengayaan itu sendiri tidak dapat dinegosiasikan.

Perbedaan Narasi dan Ketidakpercayaan

Perbedaan mendasar dalam narasi antara kedua pihak semakin memperumit jalan menuju kesepakatan. Seorang pejabat senior pemerintahan Trump menyatakan optimisme terhadap hasil perundingan, berharap pertemuan berikutnya akan segera terlaksana. Sebaliknya, seorang pejabat senior Iran yang dekat dengan tim negosiasi menekankan bahwa tuntutan AS untuk "nol pengayaan dan pembongkaran situs nuklir Iran tidak akan membantu kemajuan negosiasi." Pejabat tersebut juga menyoroti perbedaan antara pernyataan publik AS dan apa yang disampaikan dalam negosiasi, menunjukkan kurangnya kepercayaan antara kedua belah pihak.

Lebih jauh lagi, Iran secara tegas menolak untuk bernegosiasi mengenai program rudal balistiknya. Ketegasan ini diperkuat oleh tuntutan pihak berwenang Iran akan jaminan yang kuat bahwa AS tidak akan kembali membatalkan perjanjian nuklir seperti yang dilakukan Trump pada 2018. Keputusan Trump untuk keluar dari kesepakatan nuklir 2015 dengan enam kekuatan dunia dan memberlakukan kembali sanksi yang melumpuhkan ekonomi Iran, telah menciptakan rasa ketidakpercayaan yang mendalam.

Program Nuklir Iran dan Risiko Eskalasi

Iran, yang selalu menyatakan program nuklirnya untuk tujuan damai, telah melanggar pembatasan nuklir dalam perjanjian 2015 sejak 2019. Mereka secara dramatis mempercepat pengayaan uranium hingga 60% kemurnian, mendekati tingkat 90% yang dibutuhkan untuk senjata nuklir, menurut pengawas nuklir PBB. Hal ini meningkatkan kekhawatiran internasional mengenai potensi pengembangan senjata nuklir oleh Iran dan meningkatkan risiko eskalasi konflik.

Meskipun Iran bersedia untuk bernegosiasi mengenai beberapa pembatasan pada aktivitas nuklirnya sebagai imbalan atas pencabutan sanksi, pengakhiran program pengayaan atau penyerahan stok uranium yang telah diperkaya merupakan garis merah yang tidak dapat dikompromikan. Situasi ini menciptakan dilema yang sulit bagi kedua belah pihak, di mana keinginan untuk mencapai kesepakatan damai berbenturan dengan tuntutan dan garis merah yang tak tergoyahkan.

Peran Oman dan Langkah Selanjutnya

Oman, sebagai mediator dalam perundingan ini, memainkan peran penting dalam memfasilitasi komunikasi antara Iran dan AS. Menteri Luar Negeri Oman, Badr Albusaidi, menggarisbawahi adanya ide-ide "berguna dan orisinal" dalam pembicaraan tersebut dan mengkonfirmasikan rencana perundingan selanjutnya setelah kedua pihak berkonsultasi dengan ibukota masing-masing. Perundingan berikutnya akan menjadi ujian penting bagi kemampuan kedua pihak untuk mengatasi perbedaan yang mendalam dan mencapai kesepakatan yang dapat mencegah krisis lebih lanjut di kawasan Timur Tengah yang rawan konflik. Keberhasilan perundingan sangat bergantung pada kompromi dan kepercayaan yang masih jauh dari terbangun. Kegagalannya akan meningkatkan risiko eskalasi konflik, dengan konsekuensi yang sangat serius bagi stabilitas regional dan global.