Seruan Sang Terompet di Tengah Perang Ukraina
Seruan Sang Terompet di Tengah Perang Ukraina
Lviv, kota bersejarah di Ukraina Barat, menjadi saksi bisu tragedi yang tak berkesudahan. Suara terompet Yaroslav Simkiv, seorang pemain trompet yang rambutnya mulai memutih, mengiringi ratusan prosesi pemakaman militer yang silih berganti melintasi jalan-jalan berbatu kota itu. Suara pilu sang terompet menjadi iringan duka bagi ribuan nyawa yang melayang dalam perang yang hampir mencapai 1000 hari.
Bayangan Perang yang Tak Berujung
Ketika Rusia melancarkan invasi skala penuh hampir tiga tahun lalu, Simkiv mengharapkan reaksi global yang akan memaksa Rusia mengakhiri agresi militernya dengan cepat. Namun harapan itu sirna. Perang berlarut-larut, menghancurkan sumber daya, dan melelahkan penduduk Ukraina. Meskipun awalnya mendapat dukungan kuat dari sekutu Kyiv dan kemajuan militer awal, Ukraina kini kesulitan menghentikan laju serangan Rusia di garis depan yang luas. Pasukan Kremlin saat ini bahkan membuat kemajuan tercepat dalam setidaknya satu tahun terakhir, merebut desa demi desa dalam upaya untuk menguasai seluruh wilayah Donbas yang kaya industri.
Korban berjatuhan. Puluhan ribu tentara telah gugur, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga-keluarga di seluruh penjuru Ukraina. Pemakaman militer menjadi pemandangan umum, baik di kota-kota besar maupun desa-desa terpencil. Di Lviv, kota yang dianggap sebagai pusat kesadaran nasional dan budaya Ukraina, pemakaman militer telah membengkak dengan lebih dari 570 makam baru sejak Februari 2022.
"Ini adalah penghancuran bangsa Ukraina," ujar Henadii Derevyanchuk, 67 tahun, saat mengunjungi pemakaman tersebut. Lviv, sebagai pusat perlawanan historis terhadap kekuasaan Rusia, membanggakan kedekatan fisik dan budayanya dengan Eropa, seiring Kyiv berupaya bergabung dengan Uni Eropa. Setiap kali prosesi pemakaman melewati Kota Tua, suara terompet Simkiv yang khidmat bergema di antara bangunan-bangunan bergaya Austro-Hungaria yang menawan. Para pejalan kaki berhenti dan berlutut tanda hormat, menghormati para pahlawan yang gugur. Padahal tugas awal Simkiv sebagai pemain trompet kota, yang mengenakan seragam merah cerah dengan epaulette emas, hanyalah membunyikan tanda tengah hari.
Harapan dan Dilema: Perdamaian dengan Harga Apa?
Seperti banyak warga Ukraina lainnya, Simkiv percaya bahwa jaminan keamanan bagi Ukraina, dalam bentuk keanggotaan NATO, adalah satu-satunya cara efektif untuk mengakhiri ambisi Rusia. Namun, prospek pengurangan bantuan militer yang signifikan dan upaya negosiasi cepat dengan Rusia menimbulkan tekanan besar pada Kyiv.
Beberapa orang, seperti Olena Hurska, seorang manajer penjualan yang suaminya tewas dalam perang, percaya bahwa sudah waktunya untuk mempertimbangkan mengakhiri perang melalui negosiasi. Meskipun para pejabat Ukraina telah bersikeras pada penarikan penuh pasukan Rusia dan kembalinya perbatasan negara pada tahun 1991 sebelum melakukan pembicaraan dengan Rusia, kenyataannya berbeda. Sebuah jajak pendapat oleh Kyiv International Institute of Sociology menunjukkan bahwa 32% warga Ukraina siap menerima konsesi teritorial untuk mencapai perdamaian – meningkat dari 14% setahun yang lalu.
"Ukraina tanpa rakyat Ukraina bukanlah Ukraina lagi," kata Hurska. "Jadi menurut saya, ada baiknya... berkompromi pada sesuatu, bahkan jika itu berarti kehilangan wilayah." Dilema ini menghantui hati banyak warga Ukraina, di antara harapan akan perdamaian dan ketakutan akan kehilangan identitas nasional. Perang telah mengubah segalanya, termasuk pandangan mereka tentang harga yang harus dibayar untuk perdamaian. Suara terompet Simkiv di Lviv, seakan menjadi simbol harapan dan kepiluan yang terjalin erat dalam konflik yang tak kunjung usai ini. Suaranya, meski pilu, terus bergema, mengingatkan dunia akan tragedi yang terjadi di Ukraina dan kebutuhan mendesak akan penyelesaian damai yang adil dan berkelanjutan. Di setiap hembusan nada terompet, tersimpan harapan dan keputusasaan yang bercampur aduk, menyayat hati setiap pendengarnya.